Memang benar bahwa dalam bisnis pasti perlu modal. Namun hal ini kerapkali dipahami secara keliru oleh kebanyakan pebisnis pemula. Modal tidak harus identik dengan uang. Masih ada cara lain yang juga punya peran penting, misalnya, ide, jaringan, kemitraan maupun pengalaman. Banyak pengusaha yang sukses membangun bisnis tanpa modal alias bermodal dengkul!
Ada yang berubah pada diri Fahmi, sebut saja begitu. Biasanya, setiap jam 5 pagi, ia sudah bangun. Usai menunaikan sholat subuh, ia segera mandi lalu bergegas menuju terminal bus Tanah Tinggi, Tangerang. Ia tak ingin ketinggalan bus kota yang tiap pagi setia mengantarnya ke tempat kerja di kawasan Sudirman. Saat itu Fahmi, masih bekerja di saah satu bank swasta. Namun karena terbelit persoalan yang sangat serius, bank tempatnya menggantungkan hidup akhirnya dilikuidasi. Kini ia kehilangan aktivitas rutin di pagi hari.Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah sambil terus mencari lowongan pekerjaan yang cocok.
Jauh di lubuk hatinya, pria memiliki gelar sarjana ekonomi ini, sebenarnya tak ingin lagi berstatus sebagai karyawan. Ia punya banyak alasan. Selain umurnya yang tak lagi muda (37 tahun, red), Fahmi tidak ingin nasibnya terus diombang-ambingkan oleh situasi tempatnya bekerja. Tak hanya itu, ia juga berharap bisa merencanakan sendiri masa depan yang lebih pasti. Fahmi sudah lama punya obsesi pindah kuadaran baru menjadi seorang entrepreneur.
Meski begitu ia sadar, niat tersebut tidak gampang dilakukan. “Saya sudah lama ingin bikin usaha sendiri. Tapi mesti gimana lagi. Modal nggak punya, uang pesangon juga sudah habis dipakai buat kebutuhan sehari-hari”. Kalimat tersebut muluncur begitu saja dari mulut Fahmi. Dorongan untuk punya bisnis sendiri sebenarnya muncul begitu kuat. Tapi apa daya, faktor modal lagi-lagi menjadi biang kerok yang mangamputasi segala keinginannya.
Mencari pekerjaan sulit di jaman ini. Jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan ketersediaan formasi pekerjaan. Angka pengangguran meski menurun setiap tahun tapi jumlahnya tetap tinggi. Data tentang pengangguran terbuka pada Februari 2007, msalnya tercatat sebesar 10,5 juta orang menurun menjadi 9,4 juta pada Februari 2008. Usaha sektor non formal menjadi pilihan mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan. Ironinya, kesempatan mendirikian usaha kecil tidak menarik bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan relatif tinggi.
Selain aspek permodalan, alasan ‘gengsi’ juga menjadi salah satu penghambat lahirnya entrepreneur muda. Selama ini modal dianggap segala-galanya. Penghitungan investasi, operasional dan tingkat pengembalian modal menjadi begitu rumit dan menakutkan. Sehingga, tak heran jika mereka memilih menjadi sosok pencari kerja ketimbang membuka usaha dan lapangan kerja.
Fahmi mewakili hampir sebagian besar kaum muda yang berniat menjadi entrepreneur. Tapi ibarat napsu besar tenaga kurang. Keinginan besar, tapi modal tak ada. Maka muncul pendapat yang nyiyir: ”Jangan pernah bermimpi punya usaha kalau nggak punya uang”. Padahal, modal yang vital sebenarnya bukanlah uang. Masih ada modal non fisik misalnya berupa motivasi dan keberanian yang menggebu untuk memulai sesuatu.
Kondisi demikian tentu sangat memprihatinkan. Lalu ada pihak-pihak yang merasa peduli dan berusaha memberi motivasi berbisnis kendati tak ada modal. Anda tentu pernah mendengar istilah ”Bisnis Modal Dengkul”? Ada juga yang memperhalusnya dengan sebutan”Bisnis Modal Otak”, atau ”Bisnis Tanpa Uang Tunai”. Sebenarnya intinya sama, bisnis yang dilakukan dengan menggunakan modal seminimal mungkin.
Rupanya tidak semua pengusaha sepakat dengan istilah tersebut. Mereka bahkan sangat tidak berkenan jika bisnis yang dibangunnya disebut hanya bermodal dengkul. Ungkapan seperti itu dianggap berkonotasi negatif dan cenderung terdengar sebagai sebuah pelecehan. ”Maaf bisnis saya bukan modal dengkul,” cetus seorang pengusaha ketika dikonfirmasi mengenai bagaimana prosesnya saat memulai bisnis.
Nah, tujuan kami mengangkat tema ini adalah justru ingin mendudukkan makna tersebut pada porsi yang seharusnya. Sekaligus membuka cakrawala dalam menuntaskan permasalahan. ”Masih banyak jalan menuju Roma”. Begitu kalimat manis yang sering didengar. Untuk sebuah masalah, masih banyak cara yang patut dicoba. Tidak ada niat untuk meremahkan, sebaliknya, kami justru ingin memberi apresiasi terhadap mereka yang mampu mengaplikasikan teori-teori yang sering didengungkan oleh para motivator bisnis.
Mengapa demikian? Tanpa modal yang cukup pun, mereka bisa menjalankan membangun sebuah bisnis. Apalagi jika dibekali dengan modal yang besar. Kami memberi batasan pengusaha dengan modal dibawah Rp10 juta (nilai uang saat ini, red) bisa dikategorikan sebagai bermodal dengkul. Nilai tersebut tergolong kecil untuk ukuran sekarang ini. Selain modal berupa uang tunai, bisnis juga dibangun lewat modal ide atau gagasan, jaringan, kemitraan, bayar di muka, perantara, jual keahlian, dan sebagainya.
Keberanian memulai usaha dengan modal dengkul menandakan kapasitas, kekuatan dan daya saing pebisnis itu sendiri. Setiap orang punya potensi menjadi pebisnis modal dengkul. Perbedaan yang kentara antara satu dengan yang lain adalah keberanian dalam bertindak. Sikap berani bertindak bisa mengeliminir hambatan terbesar merintis bisnis yakni permodalan.
Tapi lagi-lagi, pertanyaan yang akan selalu muncul adalah: mungkinkah kita memulai bisnis tanpa modal (baca: uang tunai)? Tentu saja mungkin saja. Mengapa tidak! Jika kita mampu mengoptimalkan pemikiran kita, maka banyak jalan yang bisa ditempuh dalam menghadapi masalah permodalan untuk kita memulai bisnis. Cuma masalahnya, dari mana uang itu berasal? Logikanya, semua bisnis itu membutuhkan modal uang.
Memang benar bahwa dalam bisnis pasti perlu uang. Namun hal ini kerapkali dipahami secara keliru oleh kebanyakan pebisnis pemula. Mereka berpikir bahwa uang itu harus uang mereka sendiri. Padahal tidak harus! Lalu uang siapa yang bisa kita jadikan modal? Bisa uang bank, uang kakak, uang teman, uang tetangga, uang om dan seterusnya. Banyak contoh pengusaha yang bisa dijadikan rujukan. Misalnya, nama Purdie E. Chandra, pemilik Lembaga Pendidikan Primagama, Sahmullah Rivqi, Francy Muaya dan masih banyak lagi. Atau kisah sukses pengusaha luar negeri seperti Bill Gates, Steve Jobs yang menegaskan bahwa uang bukan modal utamanya sukses dalam berbisnis.
Itulah yang dialami Siti Aisah Farida ketika memulai usahanya. Modalnya, berupa pengetahuan, pengalaman serta pemanfaatan jaringan (pelanggan dan supplier, red) bisnis orang tuanya. Sedangkan modal berupa uang diakuinya justru menempati nomor yang kesekian. “Sebab, saat bisnis ini dibangun (tahun 1989) dengan modal awal Rp200 ribu (mungkin sekarang senilai Rp2 juta, red), modal itu pun dipinjam dari tantenya. Sedangkan, barang yang dipasarkan merupakan produksi CV Mataram Indah (perusahaan milik orang tuanya, red),” ujar Ida yang memilih menekuni bisnis mainan anak-anak ini.
Mainan anak-anak jumlahnya sangat banyak, tapi yang mengandung unsur edukatif masih sangat terbatas. Padahal mainan yang tepat untuk anak itu sudah tercantum dalam kurikulum TK (Taman Kanak-Kanak). Ida mengaku membangun bisnis ini karena tumbuh besar dalam lingkungan bisnis mainan anak-anak yang sudah dirintis orang tuanya. Sehingga ia punya pengalaman dan pengetahuan, khususnya, tentang dunia TK.
Dimulai dari satu-dua pembeli. Lambat laun usahanya berkembang. Makin banyak orang yang tertarik dan kemudian datang memesan produk mainannya. Lantas ia terpikir, kenapa tidak menggelutinya secara serius? Saat itu Ida masih menggunakan brand perusahaan sang ayah. Sampai akhirnya ia memutuskan membuat badan usaha sendiri dengan nama CV Hanimo kependekan dua nama anaknya Hanan dan Emo.
Dengan memiliki badan usaha yang jelas, ia punya hak untuk meminjam modal ke bank. Seiring dengan berjalannya waktu, Hanimo terus tumbuh besar. Setiap tahun perusahaan ini mampu membukukan omset sekitar Rp750 juta. Produknya bahkan telah merambah semua propinsi di Indonesia. “Kami belum merambah mancanegara, karena kami belum memiliki SNI (Standar Nasional Indonesia). Selain itu, kami masih terbentur pada mahalnya ongkos kirim, mengingat produk kami berbahan baku kayu dan besi,” jelas wanita, yang membawahi 35 karyawan ini.
Kendati produknya sudah merambah ke berbagai wilayah, Ida memilih tetap fokus menekuni berbagai macam kebutuhan yang diperlukan anak-anak TK. Seperti membuat seragam sekolah, seragam drumband, pakaian daerah dan lain-lain. Dan ia percaya sebuah bisnis dapat dibangun dengan modal dengkul. “Orang dipercaya karena mulutnya (baca: ucapannya). Tinggal bagaimana kita menjaga komitmen dan memahami konsekuensi yang telah dibuat,” ucapnya.
Barangkali tak ada yang menampik, tumpuan awal untuk memulai bisnis adalah ide atau gagasan. Dengan ide kita bisa melakukan apa saja. Bahkan jika memiliki ide yang brilian, meskipun tidak memiliki cukup modal, kita bisa menjual ide bisnis yang kita punya untuk dijadikan uang. Nama Bill Gates sudah berulang kali menjadi contoh nyata bagaimana ia mampu mengemas ide menjadi sebuah kekuatan bisnis.
Setelah drop out dari Harvard, Bill Gates berani bermimpi untuk memiliki bisnis yang dapat menjadi saingan IBM. Mimpi ini dipupuk terus sehingga membuahkan keberanian untuk bertindak. Dengan keberanian ini, Bill Gates menjual ide briliannya yang menawarkan solusi bisnis di bidang teknologi informasi ke berbagai investor, sampai akhirnya ia mampu menggalang dana yang cukup untuk memulai usahanya.
Kisah ini mirip dengan yang dialami Sahmullah Rivqi, Owner Oase Entrepreneur Academy. Awalnya, ia mengaku tidak cukup pede (percaya diri) untuk memulai bisnis. Sahmullah merasa tidak memiliki cukup ilmu. Kuliahnya di Jurusan Komunikasi IISIP terpaksa berakhir dengan drop out pada saat menyelesaikan skripsi. Selain ilmu, Sahmullah juga sama sekali tidak memiliki uang karena statusnya yang masih pengangguran.
Justru karena itu, ia mengaku menemukan satu keunggulan dari orang yang berstatus pengangguran. “Saya yang waktu itu menganggur punya waktu luang 24 jam. Jadi kenapa tidak digunakan untuk belajar bisnis sama pengusaha, menjalin networking dengan teman-teman,” tuturnya. Kemudian ia mendirikan Green Leaf, sebuah sekolah bisnis yang ia jalankan bersama teman-temannya. “Kita belajar bisnis dengan orang, tetapi kita dapat uang. Caranya adalah dengan mendirikan sekolah bisnis,” tambahnya.
Ia lalu mendatangi Tyas Utomo Soekarsono, Ketua Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI), Ferrasta ‘Pepeng’ Suhardi’ Soebardi pemilik Jari-Jari Communications serta beberapa pengusaha meminta kesediaan mereka untuk mengajar. Setalah itu, Sahmullah mencari peserta dengan cara mengundang remaja masjid di wilayah Jakarta Selatan untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Awalnya, tidak berjalan mulus. Dari seluruh remaja mesjid yang ada di Jakarta Selatan, yang datang jumlahnya tak lebih dari dua puluh orang. Padahal biaya keikutsertaan yang dikenakan sangat murah: hanya Rp5 ribu. Alhasil, Green Leaf mengalami defisit pemasukan. Sahmullah, lalu mengubah strategi. Ia mempersiapkan kegiatan selanjutnya secara matang. Acara digelar disesuaikan dengan jam kerja kantor. Agar tidak terkesan ‘kumuh’, acara tidak hanya dilaksanakan di dalam masjid melainkan mulai diadakan di hotel serta berpromosi melalui media massa dan brosur. Hasilnya, sebulan kemudian ia menerima pendaftar sebanyak 65 orang dengan biaya Rp750 ribu per peserta.
Tapi Green Leaf hanya bertahan selama beberapa tahun. Bisnis itu kemudian dibubarkan. Sahmullah yang mengaku kepincut dengan aktivitas yang merupakan gabungan antara hobi, sosial, dan bisnis ini tetap melanjutkan bisnis sejenis dengan mendirikan Oase Entrepreneur Academy pada tahun 2008. Bersama dengan rekannya yang lain ia juga membesut Pilar Business Accelerator. Dari situ lahir bisnis-bisnis lainnya seperti sekolah Azhari Islamic School, bisnis konveksi, jasa pencucian motor serta bisnis makanan kebab.
Ia mengakui proses pendirian perusahaannya nyaris tanpa modal alias modal dengkul. Namun, Sahmullah memberinya sebutan lain yakni bisnis pakai otak. Karena manurutnya dari proses pemikiran itulah sebenarnya seseorang bisa berkreasi. “Berangkat dari knowledge seseorang bisa menciptakan ide atau gagasan untuk menghasilkan uang melalui action. Bisa saja orang itu yang punya ide, lalu orang lain yang action, akhirnya jadilah kerja sama bisnis,” paparnya.
Bisnis modal dengkul bisa lebih efektif dibangun jika orang tersebut memiliki pengalaman dan tahu seluk beluk bidang yang akan dijalani. Ia bisa ahu dengan pasti apa saja yang dibutuhkan, pihak mana saja yang bisa bekerja sama serta langkah apa yang harus dilakukan agar bisnisnya bisa berkembang. Dengan begitu, bisnis yang akan dijalankan bisa lebih optimal.
Simak apa yang dilakukan oleh Evi Puspa. Kendati Evi jebolan Fakultas Kedokteran Gigi, wanita ini malah lebih suka berkubang dengan dunia marketing. Ia merasa enjoy dengan bidang tersebut. Maka ketika ia memutuskan membuat usaha sendiri, Evi memilih tidak ingin jauh dari bidang marketin. Ia memulainya dengan membuka online advertising dengan nama OMI (Online Marketing Indonesia) pada tahun 2002. Dengan hanya dibantu hanya oleh dua karyawannya bisnis itu akhirnya menggelinding.
Memang, dalam proses pendiriannya Evi mengaku agak kesulitan modal. Ia tak kehabisan akal kemudian memanfaatkan jaringan yang dimilikinya sebagai marketing guna menggandeng partner untuk membiayai bisnis online advertising-nya itu. Dari sanalah kemudian berkembang usaha lain seperti bisnis kuliner berupa coffe shop yang diberi nama Biz Cafe.
Kemudian ia juga terinspirasi membuat media online dengan nama perempuan.com yakni sebuah portal berita yang berisi segala informasi untuk wanita. Bisa dibilang, bisnis yang ia miliki berikutnya dimodali dari perputaran uang yang dihasilkan dari bisnis pertamanya yang dibangun dengan modal dengkul tersebut. Perempuan.com, misalnya, kini sudah membukukan omzet yang luar biasa yakni sekitar Rp5 milyar sampai Rp6 milyar pertahun. “Jadi menurut saya bisnis kecil pun bisa jadi besar nantinya jika dikelola dengan baik itu saja,” katanya merendah.
Beberapa nama diatas adalah pengusaha yang sukses membangun bisnis dengan modal dengkul. Lain lagi dengan pengusaha asal Dari Kota Kembang, Bandung, bernama Fancy Muaya. Selain membangun bisnis dengan modal minim, ia juga menawarkan peluang usaha yang bisa digarap dengan modal minimal pula. Keberanian Francy, pendiri sekaligus pengelola BizzMix, didasari oleh pengetahuan, pengalaman serta jaringannya di dunia ritel untuk meramu konsep BizzMix ministore.
Sebagai gambaran, BizzMix ministore punya konsep yang hampir sama dengan minimarket maupun hipermarket. Yakni menyediakan kebutuhan konsumen selengkap mungkin sehingga mereka tidak perlu berpindah ke lain tempat karena semuanya telah terpenuhi di tempat tersebut. Hanya saja, untu membuat minimarket apalagi hipermarket dibutuhkan modal yang sangat besar. Padahal, banyak yang tertarik untuk memiliki bisnis semacam itu. Namun, masalah klasik yang dihadapi tidak lain adalah modal yang cekak. Disini, BizzMix mencoba menepikan problem finansial yang selama ini banyak dikeluhkan.
Niat Francy semata-mata ingin memberikan jalan kepada para investor untuk mengoptimalkan potensi yang selama ini terabaikan. Misalnya saja, ada investor yang memiliki garasi yang selama ini dibiarkan menganggur. Hanya dengan modal Rp7 juta saja, mereka sudah bisa memiliki usaha yang bergerak dalam penyediaan aneka kebutuhan bagi keluarga sendiri maupun lingkungan sekitar. Fancy mencontohkan salah satu pilot projectnya, BizzMix Purwakarta yang mempunyai berbagai layanan. Mulai dari kebutuhan sehari-hari, pulsa elektrik, laundry, jasa kargo, pengurusan dokumen penting, agen iklan, penyediaan air galon hingga ATM bersama.
Fancy mengklaim salah satu kekuatan BizzMix dalam menjalankan bisnisnya adalah karena kecemerlangan ide serta luasnya jaringan. Dengan pengelolaan yang sudah terstandarisasi peluangnya untuk maju masih sangat besar. “Apalagi BizzMix sangat fleksibel baik dari sisi jumlah dana yang disetor maupun jenis barang dan jasa yang dijual,” tutur Francy. Yang jelas, strategi yang ditempuh Francy, tergolong unik. Disaat banyak jaringan minimarket yang menyasar kalangan menengah ke atas, BizzMix justru sebaliknya mencari pasar golongan menengah bawah.
Menyimak profil pengusaha sukses bermodal modal dengkul pasti sangat menarik. Sebenarnya, apa saja yang mesti dilakukan bagi entrepreneur yang ingin memulai usaha dengan modal dengkul? Ada beberapa tips, misalnya yang diberikan Evi bagi calon pebisnis yang terpaksa harus memulai bisnis dengan modal dengkul. Diantaranya, pertama kenali dulu kemampuan diri sendiri, apakah cukup menguasai bidang bisnis yang akan digeluti. Jika belum pelajari lebih dalam lagi sampai akar-akarnya. Kedua, lihat seberapa besar modal fresh money yang dimemiliki. Jika tidak punya, maka harus bisa menciptakan satu ide yang bisa dijual untuk mendapatkan dana pinjaman.
Ketiga, mampu membuka networking (jaringan) untuk memasarkan produk yang dihasilkan dari
bisnis tersebut nantinya. Dan keempat, harus mengenali pasar dari bisnis yang digeluti. Ini
penting sebab salah sasaran bisa berakibat fatal. Segmen pasarnya harus ditentukan lebih dulu.
Evi juga tidak sependapat bahwa bisnis modal dengkul diartikan tidak memerlukan modal sama sekali. Karena untuk saat sekarang, hal itu mustahil bisa dilakukan. Modal minimal pasti ada tapi ditunjang dengan faktor lain seperti ide, jaringan, pengalaman dan lain-lain. “Modal sangat penting, tanpa itu sulit memulai bisnis. Namun yang mesti diperhatikan bahwa modal besar tanpa ada keseriusan dalam mengaplikasikannya sama saja percuma,” pungkasnya.
Jika ingin mengutip/menyebarluaskan artikel ini harap mencantumkan sumbernya.s00
(di kutip dari Majalah Pengusaha)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar